Selasa, 27 Desember 2011

Berbangga Menjadi Diri Sendiri



BUDAYA tiru-miniru sepertinya telah menjadi tren hidup masa kini. tidak sedikit orang yang tidak percaya diri dengan identitas mereka sendiri. Padahal ada pepatah mengatakan, “Menjadi kepala ikan teri itu jauh lebih baik, ketimbang menjadi ekor ikan hiu.”

Sebesar apa pun ikan hiu, manakala kita harus menjadi ekor, berarti kita harus mem’beo’ akan apa saja yang dilakukan oleh si-ikan hiu tersebut. Sebaliknya, ketika kita menjadi kepala ikan teri, maka kita lah yang akan menentuka arah perjalanan hidup kita sendiri. Kita akan memilih dan memilah jalan hidup tanpa harus dihantui perasaan minder atau sebagainya terhadap apa yang datang dari luar.

Sayangnya pesona besarnya ikan hiu, ternyata lebih menggiurkan sebagian masyarakat nigeri ini. Akibatnya, mereka selalu meniru apa saja yang datang dari luar diri mereka, tanpa harus berfikir panjang untuk menyaring terlebih dahulu, antara yang pantas ditiru dan yang ditinggalkan atau antara perkara primer dan skunder.

Kasus merebaknya gaya hidup hidonisme adalah buah yang harus kita terima saat ini karena mala-praktek gaya hidup yang kita terapkan. Bahkan terkait masalah ini, ada satu kejadian nyata yang sangat mengiris hati.

Betapa tidak? demi memiliki handphone Blackberry, seorang perempuan dengan ‘rela’ menjual harga dirinya. Kisah ini sesuai dengan apa yang disampaikan oleh Dicky Candra, ketika dia menjadi salah satu juri dalam salah satu acara di stasiun TV sewasta. Na’udzubillah min dzalik.

Sikap membeo ini melahirkan fenomena inferior banyak orang. Kedatangan atlit bola LA Galaxy baru-baru ini sebuah contoh tragedi. Banyak gadis-gadis berjejal karcis bukan untuk melihat permainan bola. Tapi hanya ingin melihat wajah si bintang. “Habis cakep sih, “ ujar mereka. Pujian dan histeria dengan sesuatu berbau ''bule". Sampai-sampai ada artis bangga meminta diri tanda-tangan di dadanya. Dia juga bangga dikecup sang atlit yang bukan muhrimnya. Sungguh memilukan!

Nah, yang lebih membahayakan lagi, virus ini ternyata tidak hanya digandrongi oleh anak-anak muda semisal kasus di atas. Namun virus “membeo” ini juga telah menyerang para intelektual negeri ini, khususnya intelektual Muslim.

Berbahaya !!

Budaya meniru buta, atau dalam bahasa Arab disebut ‘Taqlidu Al-‘Amaa’, sejatinya sangat berbahaya bagi kita. Apa lagi kalau hal tersebut menyentuh wilayah keimanan. Bukan hanya di dunia kita merugi, namun di akhirat kita pun mendapatkan hal serupa.

Orang yang suka meniru-niru orang lain adalah cerminan orang yang tidak memiliki kepribadian tinggi. Dia mudah silau dengan apa yang dia temukan dari luar dirinya. Dia akan selalu terombang-ambing. Setiap muncul mode terbaru, maka setiap kali itu pula gaya hidupnya berubah. Tidak ada konsistensi dalam dirinya.

Tentu lah pribadi macam ini akan sulit menggapai kesuksesan. Sebab, salah satu rumus kesuksesan seseorang, dia harus menjaga kekonsistensiannya di dalam melakukan segala hal. Dalam istilah agama disebut dengan Istiqomah.

Nabi sendiri telah menegaskan dengan keras, agar kaum muslimin terhindar dari kebiasaan macam ini. Tidak tanggung-tanggung, melalui sabdanya, beliau mengecam umat Islam yang memiliki pola hidup macam ini, dan menetapkan mereka sebagai bagian dari kaum yang mereka ikuti.

“Man tasyabbaha biqaumin fahuwa minhu.” (Barang siapa yang menyerupai suatu kaum maka dia termasuk bagian dari kaum tersebut). Demikian lah penegasan Rosulullah.

Selain itu, menetapkan diri sebagai objek penjajahan adalah beban lain yang harus ditanggung oleh orang yang ‘doyan’ tiru-meniru ini. Penjajahan terjadi dikarenakan dia tidak bebas mengekspresikan kepribadiannya. Dia selalu khawatir, takut, galau kalau-kalau dia akan dihina, dicemooh dikarenakan tidak mengikuti tren yang tengah berkembang. Ketakutan macam ini lah yang menyebabkan dia menjadi santapan empuk penjajahan dalam versi lain.

Anak-anak remaja kita malu jika tidak memiki pacar. Dia resah dengan gelar “jomblo”. Seolah-olah sebutan itu adalah aib dan mencemarkan nama baik keluarga. Padahal, identitas-identitas itu hanya tiruan dan turunan dari budaya pop Barat untuk menanamkan gaya hidup bebas.

Selanjutnya, sudah tentu mereka yang mengalami hal ini tidak akan merasakan kesenangan, ketenangan, kenyamanan, kebebasan sejati, sebab kepuasan yang mereka rasakan hanya bersumber dari hawa nafsu yang menguasai mereka. Padahal, kepuasaan sejati itu ada di hati.

Kita mengaku Muslim, tetapi tidak tahu sumber-sumber ilmu pengetahuan asli dari kandungan al-Quran. Kita bangga berbahasa Inggris, tetapi membaca Kitab Suci saja hanya terjemahan.

Ada sebuah cerita menarik yang terdapat dalam kitab “Qiraa’atu Al-Rasyidah”. Ceritanya, terdapat lah dua ekor keledai yang tengah melakukan perjalanan. Satu di antara keduanya membawa garam, dan satu yang lain membawa karang.

Singkat cerita, di pertengahan jalan keduanya menjumpai telaga. Karena merasa haus, si-keledai yang memikul garam langsung masuk ke telaga guna minum. Dan ternyata bersamaan dengan itu, garam yang berada di punggungnya sedikit demi sedikit mencair, sehingga semakin ringan lah beban yang ia pikul.

Menyaksikan fenomena tersebut, si-keledai yang membwa karang tanpa pikir panjang juga langsung menyebur pula ke dalam telaga. Harapannya tentu untuk menghilangkan rasa haus yang tengah mengerogotinya, dan meringankan beban yang sedang yang dipikulnya.

Namun apa yang terjadi kemudian? Bukannya tambah ringan, namun tambah beratlah bebannya tersebut, sebab karang yang dia bawa bukannya mencair, tapi justru penuh terisi air.

Semoga kisah unik ini menjadi inspirator kita untuk menjadi diri sendiri. Lalu apa kiatnya untuk menuju ke sana?

Kuncinya Syukur

Islam tidak pernah melarang penganutnya untuk bersikap anti-pati terhadap perubahan zaman. Namun untuk keselamatan, kita perlu melakukan proses adapsi yang artinya berusaha memilih dan memilah antara yang sesuai dengan syari’at dan yang menyalahinya. Yang sejalan boleh kita ambil. Namun terhadap yang menyeleweng, kita harus berani mengatakan “NO’. Sekali pun hal tersebut sangat menarik perhatian.

Demikian pula yang telah dilakukan oleh para ulama terdahulu dalam mengkaji penemuan-peenemuan ilmuan Yunani kuno. Sehingga mereka tidak pernah tersesat dikarena mendalami/menyelami peradaban Barat tersebut. Istilahnya, para ulama belajar ilmu Barat, namun mereka tak harus menjadi Barat atau kebarat-baratan.

Kemudian, kata syukur menjadi kata kunci untuk menjadi diri sendiri. Kita memang banyak kekurangan, tapi jangan sampai kekurangan tersebut menjadikan kita minder dalam menatap kehidupan. Syukuri segala apa yang ada di tanggan kita dan berusaha memaksimalkannya untuk menghasilkkan sesuatu yang terbaik.

Khususnya bagi kaum muslimin, cukup lah kita bangga dengan Islam, sebab Islam sendiri telah menduduki posisi kemuliaan. jangan pernah kita silau dengan apa yang datang dari luar, karena baik bagi orang lain, belum tentu bagi kita, lebih-lebih ditinjau dari sisi syari’atnya.

Suatu ketika Salman Al-Farisi radhiyallahu anhu ditanya, ”Keturunan siapa Kamu ?” Salman yang membanggakan keislamannya, tidak mengatakan dirinya keturunan Persia, tapi ia mengatakan dengan lantang, ”Saya putera Islam.” inilah sebabnya Rasulullah saw mendeklarasikan bahwa, ”Salman adalah bagian dari keluarga kami, bagian dari keluarga Muhammad saw.”

Dengan kata lain, saatnya kita semua berkata, “Isyhadu bi ana muslimun.”(saksikanlah, aku adalah seorang muslim).

Di antara cara syukur kita sebagai seorang Muslim adalah menunjukkan identitas kemusliman kita, nilai-nilai kita dan gaya hidup kita yang berbeda dengan gaya hidup yang lain.*

oleh: Khairul Hibri, anggota Asosiasi Penulis Islam (API) Indonesia
http://hidayatullah.com/read/20049/05/12/2011/berbangga-menjadi-diri-sendiri.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar