Minggu, 18 Desember 2011

A Good Leader Is A Reader




“A good leader is a reader, seorang pemimpin yang baik adalah seorang pembaca,”  demikian kata-kata bijak yang banyak disetir dalam kaitan kepemimpinan. Kualitas seorang pemimpin banyak ditentukan oleh tingkat intelektualitas dirinya. Sementara indikator intelektualitas seseorang tidak hanya ditentukan oleh kecerdasan dan tingkat pendidikan tetapi juga dilihat dari kebiasaannya.

Nah, salah satu kebiasaan yang mencerminkan intelektualitas tersebut adalah kebiasaan dalam membaca. Mengapa seorang pemimpin disebut adalah seorang pembaca? Tampaknya hal ini bukan hanya untuk indikator intelektualitas tetapi juga berkaitan dengan karakter dan kepribadian.

Seorang pemimpin yang pembaca sudah jelas menunjukkan sikap kesediaan terus belajar, terus mau menimba ilmu dan mendapatkan informasi sebanyak-banyaknya. Seorang pembacalah yang selalu siap bertumbuh dan berkembang.

Lebih dari itu, pemimpin yang pembaca adalah orang yang terus selalu mau membuka diri untuk terus berubah, memperpaiki diri atau prilakunya menuju kearah yang lebih baik. Seterusnya, dia juga seorang yang rendah hati, siap mendengar suara yang ada di luar dirinya. Seterusnya, sang pemimpin juga selalu siap untuk mawas diri atau instrospeksi dan lebih lanjut siap mau dikoreksi.

Kita sudah tahu, sifat naluriah manusia secara umum cenderung tidak mau mengaku atau disalahkan oleh orang lain secara langsung meski boleh jadi dia berprilaku salah. Terlebih terhadap orang-orang yang memiliki bobot tertentu, seperti halnya pemimpin. Serendah hati apa pun, seseorang biasanya cenderung mengabaikan jika dia dinyatakan bersalah secara langsung, apalagi terhadap seorang bersosok pemimpin.

Arogansi, disadari atau tidak, selalu menyertai setiap diri seseorang, termasuk pemimpin. Hal itulah mengapa banyak pemimpin seolah seperti tidak mau mendengar, tidak mau dipersalahkan, apalagi kalau dipojokkan. Hal ini, menurut banyak orang bijak, manusia pada dasarnya tidak suka dikritik. Boleh jadi dalam ucapannya dia menyatakan suka, siap atau terbuka terhadap kritikan tetapi nalurinya sesungguhnya tidak senang dikritik. 

Hanya lewat bukulah sebenarnya kritik dapat diterima oleh setiap orang, termasuk sang pemimpin. Lewat buku-buku yang punya bobot pengembangan diri, seseorang dapat menilai dirinya dan sekaligus dia melakukan otokritik. Bukulah yang mampu atau efektif mengkritik kita tanpa kita merasa tersinggung oleh kritik yang diberikan.

Terlalu banyak orang menyebut tentang manfaat membaca buku. Tidak ada yang membantah bahwa kegemaran membaca buku itu sangat baik buat kita. Malahan ada yang menyebut bahwa membaca adalah ibarat kita menyantap makanan. Maksudnya, kalau makanan disantap untuk membuat fisik kita tetap sehat dan segar maka membaca buku adalah agar pikiran kita menjadi sehat dan segar. Bahkan ada yang menyebut, pikiran yang sehat dan segar jauh berlipat-lipat manfaatnya daripada fisik yang sehat dan segar.

Sungguh beruntung jika kita banyak memiliki pemimpin yang juga seorang pembaca. Tentu saja yang dibaca adalah buku-buku berbobot, punya nilai positif. Apalagi kalau buku-buku tersebut, berkait dengan pengembangan diri sang pemimpin. Lewat buku-buku tersebut, sang pemimpin dapat menjadikannya sebagai cermin untuk menilai dan mengontrol diri, sekaligus melakukan setiap saat melakukan otokritik terhadap dirinya sendiri.

Banyakkah para pemimpin kita gandrung membaca buku? Jika banyak yang hobi membaca buku, adakah buku-buku itu juga banyak yang terkait dengan pengembangan diri, buku yang mampu mengubah atau memperbaiki prilakunya? Tampaknya cukup sulit juga kita mencari tahu pemimpin yang gemar membaca buku.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar