Minggu, 04 Desember 2011

Jembatan Tenggarong Ambruk, Apa Kabar Infrastruktur Indonesia?


Jembatan Tenggarong Ambruk, Apa Kabar Infrastruktur Indonesia?


INFRASTRUKTUR adalah lokomotif per ekonomian. Ia mempunyai peran penting dalam mendorong marginal productivity of capital, menekan biaya produksi dan distribusi, serta meningkatkan produktivi tas tenaga kerja. Tidak meng herankan bila beberapa studi empiris menunjukkan terdapat korelasi yang positif dan signifikan di antara investasi infrastruktur dan pertumbuhan ekonomi. Uji regresi yang dilakukan Mehta (2008) di India dan Chai (2010) di China memang menunjukkan cateris paribus, setiap kenaikan 1% investasi infrastruktur berpotensi mendorong pertumbuhan ekonomi sebesar 0,21% di India dan 0,33% di China.

Pentingnya peran infrastruktur dalam perekonomian menginspirasi beberapa lembaga, seperti World Economic Forum atau International Financial Corporation, memilih infrastruktur sebagai leading indicator untuk menentukan tinggi-rendahnya daya saing perekonomian suatu negara. Sayangnya, indikator infrastruktur Indonesia masih tergolong mengecewakan. Ini kemudian membuat posisi daya saing Indonesia tidak mengalami perbaikan yang signifikan dan selalu terpuruk di level rendah.
Sumber daya ekonomi dan komitmen politik Chai (2010) menegaskan bahwa pembangunan infrastruktur tidak hanya membutuhkan dukungan sumber daya ekonomi, tetapi juga komitmen politik yang kuat dan konsisten. Sayangnya, saat ini kedua faktor itu tidak cukup mendukung negeri ini untuk memiliki kuantitas dan kualitas infrastruktur yang memadai.

Beberapa penyebabnya adalah,

Pertama, kemampuan keuangan negara untuk membangun dan memperbaiki infrastruktur sangat terbatas. Dengan asumsi anggaran pembangunan infrastruktur per tahun sebesar 5% dari PDB saja, sampai dengan 2014 kebutuhan dana infrastruktur akan mencapai Rp1.429 triliun. Jumlah dana itu sangat sulit dipenuhi pemerintah di tengah-tengah sering terjadinya tekanan fiskal karena tingginya biaya utang, subsidi, dan transfer dana ke daerah yang cenderung meningkat seiring dengan munculnya agenda otonomi dan pemekaran daerah.

Kedua, politik anggaran yang diadopsi pemerintah kurang proinfrastruktur. Pemerintah lebih suka mengalokasikan anggaran untuk mendukung kebijakan populis, seperti subsidi BBM, dengan konsekuensi menekan anggaran infrastruktur. Tidak mengherankan bila anggaran infrastruktur cenderung menjauh dari level ideal seperti direkomendasikan Bank Dunia, sebesar 5% dari PDB. Rasio anggaran infrastruktur terhadap PDB memang cenderung menurun dari 3,6% (2003), 2,9% (2008), dan hanya 2,3% (2012).

Ketiga, pemerintah dan DPR kurang sigap menyediakan legal framework yang mampu menstimulasi pembangunan infrastruktur.
Misalnya, proses legislasi RUU Pengadaan Lahan berjalan tertatihtatih dan menyisakan ketidakpastian kapan RUU itu akan naik status menjadi UU. Belum selesainya proses legislasi beleid ini membuat pembangunan infrastruktur meng hadapi ketidakpastian dan risiko (biaya dan waktu) yang cukup tinggi.

Akumulasi dari permasalahan tersebut membuat kuantitas dan kualitas infrastruktur di Indonesia relatif tertinggal dari negara-negara kompetitor. Akibatnya, cost of doing business di negeri ini relatif lebih mahal daripada beberapa negara kompetitor. Misalnya, perusahaan di Indonesia harus mengeluarkan biaya transportasi sekitar 30% dari total biaya produksi, jauh lebih tinggi daripada biaya di beberapa negara kompetitor, seperti China, yang hanya sekitar 12%-an.

Kasus Jembatan Kukar Runtuhnya Jembatan Kukar (Kutai Kartanegara) menyadarkan kita semua bahwa ada yang salah dalam pelaksanaan pembangunan dan pemeliharaan infrastruktur di Indonesia. Jembatan dengan julukan the Golden Gate of Kalimantan itu hanya mampu menjalankan fungsinya selama 10 tahun dari yang semula direncanakan minimal selama 40 tahun. Belum ada kesimpulan apa sebenarnya penyebab runtuhnya jembatan itu.

Namun, kuat dugaan bahwa faktor kualitaslah yang membuat Jembatan Kukar ambruk. Dikaitkan dengan mekanisme dan struktur anggaran, jika penyebab utama ambruknya Jembatan Kukar adalah masalah kualitas, itu bukanlah suatu hal yang mengagetkan.

Pertama, realisasi anggaran infrastruktur setiap tahun selalu berjalan lamban. Misalnya, sampai dengan September 2011, anggaran infrastruktur yang sudah terserap hanya berkisar 30%-an dari total anggaran (Rp140,95 triliun). Karena itu, dalam waktu 3 bulan, pemerintah harus terburu-buru membelanjakan Rp 98,67 triliun sisa anggaran yang dimilikinya. Permasalahannya adalah sulit berharap proyek infrastruktur akan berkualitas jika pelaksanaannya dilakukan dengan terburu-buru.

Kedua, struktur penggunaan anggaran infrastruktur juga mengandung permasalahan. Sudah menjadi rahasia umum bahwa proporsi anggaran infrastruktur yang benar-benar dialokasikan untuk membangun fisik infrastruktur masih relatif kecil. Penyebabnya, sebagian anggaran terserap ke pos-pos seperti membayar jasa konsultan, biaya perencanaan, monitoring dan supervisi, serta fee project (seperti kasus Nazaruddin). Permasalahannya adalah bagaimana infrastruktur akan berkualitas bila dananya sebagian besar disunat dan terserap untuk pos-pos seperti tersebut di atas.

Ketiga, komitmen politik pemerintah untuk menegakkan peraturan juga masih lemah. Toleransi pemerintah terhadap pelanggaran peraturan yang diharapkan bisa mempertahankan kualitas infrastruktur membuat permasalahan infrastruktur menjadi semakin kompleks. Misalnya, walaupun ada peraturan mengenai tonase kendaraan menurut kategori kelas jalan dan jembatan, tidak ada larangan ataupun sanksi yang tegas terhadap kendaraan dengan tonase yang lebih berat daripada yang diatur. Ini membuat tingkat kerusakan jalan dan jembatan lebih cepat daripada yang semula diprediksikan.

Pekerjaan rumah Ambruknya Jembatan Kukar menguatkan anggapan bahwa bangsa ini tidak memiliki kepedulian untuk memelihara infrastruktur yang dibangun dengan sangat mahal. Terindikasi bahwa ternyata jembatan itu tidak dipelihara secara rutin dan serius.

Saling lempar tanggung jawab antara pemerintah pusat dan daerah mengenai siapa yang memiliki kewajiban untuk memelihara Jembatan Kukar dan beberapa kali penolakan DRRD terhadap rencana anggaran pemeliharaan yang diajukan Pemerintah Kabupaten Kutai Kartanegara menunjukkan adanya miskoordinasi dan ketidakpahaman politisi terhadap pentingnya pemeliharaan yang kemudian berakibat fatal, memakan korban jiwa, dan mengganggu aktivitas sosial ekonomi masyarakat di sekitar jembatan itu berdiri.

Audit fisik terhadap beberapa jembatan dengan bentang relatif panjang (seperti Ampera, Suramadu, Barelang) penting dilakukan untuk menghindari pengulangan kasus Jembatan Kukar. Selain itu, peningkatan dukungan sumber daya ekonomi dan komitmen politik pemerintah penting dilakukan agar kuantitas dan kualitas infrastruktur mampu mengakselerasi perekonomian. Karena itu, pemerintah perlu membenahi beragam permasalahan seperti telah dibahas sebelumnya.

Upaya untuk meningkatkan dukungan sumber daya ekonomi dan komitmen politik pemerintah juga bisa dilakukan melalui beberapa langkah.

Pertama, menerbitkan obligasi infrastruktur agar uang yang ada di pasar keuangan mengalir ke sektor riil. Penerbitan obligasi jenis ini sekaligus membuka ruang bagi pemerintah untuk memiliki tambahan dana yang bisa digunakan untuk mengembangkan kuantitas dan kualitas infrastruktur.

Kedua, mengoptimalkan keterlibatan sektor swasta dalam pembangunan infrastruktur melalui skema public private partnership. Karena itu, pemerintah dan DPR perlu segera menyelesaikan proses legislasi UU Pengadaan Lahan, meminimalisasi overlapping beberapa peraturan, menyiapkan sistem insentif (seperti viability gap dan jaminan penggantian biaya investasi bila proyek infrastruktur tersendat di tengah jalan), dan meningkatkan kualitas dan kapabilitas PJPK (penanggung jawab proyek kerja sama) yang ada di kementerian /lembaga/pemda/ BUMN/BUMD.

Ketiga, membentuk dan memperkuat kelembagaan untuk mengawasi aliran dana infrastruktur.

Tugas utama lembaga ini adalah mengantisipasi jangan sampai dana pembangunan infrastruktur lebih banyak lari ke pos-pos, seperti jasa konsultan, biaya perencanaan, dan monitoring serta supervisi. Lembaga ini juga berkewajiban meminimalkan munculnya mark-up dari proyek infrastruktur dan sogok-menyogok pada saat tender suatu proyek infrastruktur berlangsung.

http://pmlseaepaper.pressmart.com/mediaindonesia/PUBLICATIONS/MI/MI/2011/12/05/ArticleHtmls/Infrastruktur-Terpuruk-Jembatan-pun-Ambruk-05122011017004.shtml?Mode=1

Tidak ada komentar:

Posting Komentar